Kisah perubahan di lingkungan NU sungguh menarik dicermati secara seksama. NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia nyaris selalu identik dengan pesantren. Kyai Muchid Muzadi menyebutnya, “bak ikan dan air”, meski dalam tataran tertentu keduanya terpisah. Pesantren menjadi entitas yang amat signifikan dalam membentuk paradigma keberislaman masyarakat nahdiyyin. Keteguhannya dalam memegang tradisi tak ayal menjadi corak khas bagi mainstream berpikir sekaligus memberi imbas pada praktik keseharian warganya.
Kemapanan ini terusik, khususnya tatkala pergumulan NU dengan realitas mutakhir tak bisa dihindarkan. Gejala modern memaksa hadirnya pergeseran cara pandang, sikap, serta aplikasi di lapangan sebagai kalangan yang mendudukan agama sebagai muara nilai bagi laku hidup mereka. Inilah potret dinamika yang tengah berlangsung di tubuh NU.
Adalah As‘ad Said Ali, seorang Wakil Kepala BIN, yang telah melakukan ikhtiar terpuji dalam mendeskripsikan dinamika ini. Dalam karyanya, Pergolakan di Jantung Tradisi: NU yang saya amati, ia dinilai sukses menyuguhkan kajian komprehensif dalam membedah jeroan NU berikut ragam perkembangan di dalamnya.
Dengan mengupas lengkap tradisi berfiqh kaum nahdiyyin, berbuah kesimpulan bahwa sebenarnya secara epistemologis, disadari atau tidak, ulama nahdiyyin sudah menggeser cara berpikir mereka ke arah ijtihad (kendati dalam pengertian agak lunak), satu prinsip yang kerap membuat “alergi” ulama NU yang notabene tradisionalis-konservatif. Ini tercermin dari adanya transformasi dari pola bermazhab qauli kepada pola bermazhab manhaji. Ini penting, mengingat fiqih sedari awal seakan telah menyatu dalam tubuh dan menjadi pola pandang sistem keberagamaan NU.
As‘ad secara apik juga merangkum cerita pergeseran ini dengan pemetaan masalah yang utuh, menyinggung ragam dimensi yang menyelimuti kehidupan NU, semisal, tsaqafah (budaya), siyasah (politik), fikrah (pemikiran), bahkan iqtisadiyah (ekonomi).
Pergumulan NU dengan semua ini tak pelak melahirkan warna baru. Geneologi keilmuan luar pesantren para cendekiawan NU, kondisi sosio-politik yang kurang sehat, dan fenomena neo-liberalisme adalah bagian dari serangkaian faktor pemicu mengapa NU mulai beranjak dari karakter lamanya.
Isu reformasi pemikiran dan politik menjadi kian menguat. Terlebih ketika agenda neo-liberalisme menggurita di negara-negara berkembang. Tentu dampaknya sangat signifikan, sebab ia menyediakan tak hanya donasi spirituil namun juga matriil demi terwujudnya perubahan sosial, politik dan ekonomi dunia. NGO (Non-Goverment Organization) mulai semarak di internal NU, dan merupakan persemaian bagi meletusnya gagasan baru seperti aksi liberalisasi oleh generasi muda ormas ini.
Gedoran terhadap tradisi tak serta merta berlangsung mulus. Sikap sebagian ulama NU yang bersikukuh memegang kotmitmen kuat terhadap tradisi memberi hawa “permusuhan” yang cukup alot. Inilah upaya resistensi ulama (tua) NU dalam menghadang arus “melenceng” dari generasi pemikir baru. Dengan lugas, sang penulis mengurai semuanya secara kompleks, mulai dari akar persoalan, latarbelakang, hingga lika-liku pergulatan pemikiran, sosial dan politik dengan membubuhkan data empirik yang cukup detil, namun dalam kemasan yang ringan. Selamat membaca... *[bib]
Blog Archive
Followers
Blog Archive
Labels
- Artikel Lepas (12)
About Me
- Fasta267-Attanwir
- Fasta merupakan singkatan dari Forum Alumni Santri Attanwir 2006-2007, yang mana fasta berdiri pada tanggal 30 juni 2007. Organisasi ini didirikan sebagai sarana silaturrahim antar alumni Attanwir khususnya para Alumni attanwir 2006-2007