RSS Feed

Bahasa Arab vs Bahasa 'Ajam

Posted by Fasta267-Attanwir Label:

Memahami bahasa merupakan suatu bagian yang wajib bagi mahluk Allah yang bernama manusia. Karena dengan bahasa, seseorang dapat mengekspresikan apa yang di kehendakinya, atau dengan bahasa itu tadi manusia dapat berhubungan/ bersosialisasi dengan manusia yang lain(1) . Memang kebanyakan orang memahami bahasa identik dengan berbicara (ekspresi melalui mulut), padahal banyak saudara-saudara kita yang berkomunikasi dengan gerak (isyarat).
Yang akan kita bahas disini adalah yang pertama yaitu misteri bahasa yang ada di dunia. Memang dewasa ini bahasa Inggris merupakan bahasa yang dikenal oleh hampir semua penduduk bumi. Karena dari pengguna lokalnya (orang Inggris) sendiri mampu mengeksplor bahasanya, walaupun dengan berbagai cara, lewat produk penjajahan misalnya dan lain sebagainya.
Kita tahu negara super power Amerika, Australia dan masih banyak lagi diantara Negara-negara besar maupun kecil menggunakan jasa bahasa tersebut, adapun akhir-akhir ini bahasa yang menggeliat di kawasan Asia adalah mandarin dan Jepang. Inipun ditentukan oleh kreatifitas dari pemiliknnnya. Semisal Jepang, dengan berbagai produk industri yang diluncurkan mau tidak mau konsumen dari produk-produk tersebut sedikit banyak akan bersinggungan dengan bahasa Jepang. Faktor inilah yang pada akhirnya mendorong masyarakat (negara) konsumen akan belajar bahasa Jepang.

ARABIC FOR MOSLEM
Kita sebagi umat Islam agaknya tidak bisa terlepas dari bahasa Arab yang merupakan
bahasa persatuan, bahasa universal, karena masodir(sumber-sumber) petunjuk pegangan hukum, baik pidana maupun perdata itu semua bersumber dari Al-qur'an yang merupakan bahasa Arab asli. Begitu juga dengan rasulnya yang di utus dangan lisan Arab asli (fashih). (QS. An-Nahl: 103)

Keistimewaan bahasa Arab antara lain:
1.sejak zaman dulu hingga sekarang bahasa Arab merupakan bahasa yang selalu hidup. Atau dengan arti lain, bahasa Arab tidak mengalami perubahan, walaupun bahasa Arab membuka diri dengan derasnya perkembangan budaya peradaban bahasa, baik perkembangan teknologi maupun sains. Didalam sejarah dunia tidak ada satu bahasapun yang tidak berubah selain bahasa Arab, yaitu bahasa yang menguasai daerah hampir setengah jagat, dari Al Jazair sampai Pakistan.

Bahasa Inggris yang dielu-elukan oleh kebanyakan dari kita. Apabila kita membaca bahasa Inggris seribu tahun yang lalu pasti kita tidak akan mengerti lagi. Demikian pula bahasa Belanda, kalau kita baca buku bahasa Belanda yang ada di Jakarta yang berumur 300 tahun itu, pasti kita tidak akan mengerti lagi, sebab bahasa Belanda yang dulu itu lain sekali dengan bahasa Belanda yang ada sekarang ini. Demikian pula dangan bahasa Perancis, bahasa Italy. Bahkan bahasa Indonesia sendiri selama kurun waktu enampuluh tahun saja sudah banyak berubah, coba kita baca text proklamasi kita sudah asing dengan ejaan yang digunakan waktu itu. Tidak satupun bahasa di dunia ini yang tetap hebat dan tetap sanggup mampertahankan keaslianya kecuali bahasa Arab. Disinilah letak kelebihan bahasa Arab dibanding dengan bahasa lain.
Begitu juga dengan Bible (Injil) bahkan lebih ironis lagi, sampai-sampai tidak di ketahui siapa penulisnya sampai sekarang. Meskipun Bible kitab yang sangat tua dan mungkin paling banyak dikaji manusia, tetapi tetap masih merupakan misteri hingga kini siapa penulisnya. (It is a strange fact that we have never know with certainly who produced the book that has played a central role in our civilazion)(2). Dua pakar Yahudi Israel Frinkel Stein dan Neil Asher Silberman pada tahun 2002 yang lalu menulis buku: The Bible Unearthed: Arceology's new vision of ancient Israel and the origin of its sacret texts. Isinya memberkan kritik yang tajam terhadap berbagai data sejarah dalam Bible(3). Profesor Bruce M. Metzger(4) dalam bukunya "The texs" of the New Testment: Its Transmission, Corruption, and Restoration"(Oxford university press, 1985) menunjukkan problematika teks yang sangat serius. Dan masih banyak sekali Ilmuan yang mengkritik tajam tentang keabsahan Bible. Ini semua dikarenakan problem bahasa dalam Bible yang bermasalah bahkan dikatakan, bahasa aslinya sudah punah
Sampai sekarang ini problem tersebut menimbulkan berbagai macam versi teks Bible yang tidak dapat di hindari lagi. Hingga kini ada sekitar 5000 manuskrip teks Bible dalam bahasa Yunani (Greek). Cetakan pertama The New Testament bahasa Greek terbit di Basel 1516, disiapkan oleh Deiderius Eramus. (ada yang menyebut tahun 1514 terbit The New Testament edisi Greek di Spanyol). Karena tidak ada manuskrip Greek yang lengkap, Erasmus menggunakan berbagai versi untuk melengkapinya(5).
Lain halnya dengan bahasa Arab yang dalam kurun 1500 tahun bahkan lebih tidak mengalami perubahan sedikitpun. Sehingga kita dapat memahami arti, tafsir maupun ta'wil dari ayat-ayat Al-qur'an walaupun dengan gaya bahasa termodern dan terkini pun tanpa mengalami kesulitan.
Tidak ada satu bahasa di dunia ini yang tetap hebat dan sanggup mempertahankan keasliannya kecuali bahasa Arab, disinilah letak keunggulan bahasa Arab dibanding bahasa-bahasa lain. Itu tak lain tak bukan karena ada Al Qur'an yang menjaganya (Bahasa Arab). Beda dengan Bible yang jika ingin mempelajarinya harus menyelamatkan bahasanya dulu, sedangkan bahasanya yang asli sudah tidak ada (punah).
2.bahasa Arab adalah bahasa yang lengkap dan luas untuk menjelaskan tentang ketuhanan dan keakhiratan.
Ini disebabkan karena perbendaharaan bahasa Arab yang sangat luas, seuatu yang tidak bisa dungkapkan dengan kata-kata oleh bahasa lain, akan dengan mudah dapat di ekspresikan dengan bahasa Arab. Bentuk-bentuk kata dalam dalam bahasa Arab mempunyai tashrif (konjugasi) yang amat luas sehingga dapat mencapai 3000 bentuk perubahan. Yang demikian tak terdapat dalam bahasa lain(6).

HUKUM PENULISAN AL-QUR'AN DENGAN BAHASA LAIN.
Wahyu Allah yang di turunkan kepada nabi-nabi itu ada yang tertulis dan terbaca, dan adapula yang tak tertulis dan tak terbaca. Wahyu-wahyu yang tertulis dan terbaca itulah yang dinamakan dengan kitab-kitab suci, yaitu wahyu-wahyu yang besar dan penting.
Kitab-ktab suci itu menurut banyak ahli tafsir berjumlah 104 buah. Tapi semuanya sudah hilang, karena tak terpelihara dengan baik setelah meninggalnya nabi-nabi dan rasul-rasul yang membawanya (Tafsir Ibnu Adil).
Seluruh isi dari kitab-kitab suci yang telah hilang, akhirnya diturunkan Allah kepada nabi Musa as. Dan dinamakan Taurat. Tetapi sepeninggal nabi Musa as. Kitab taurat inipun hilang pula. Sebab itulah Allah lalu mengutus Nabi Isa as.dan kepada beliau diturunkan kembali semua isi kitab Taurat yang hilang itu dan kitab ini dinamai Injil. Tetapi sepeninggal Nabi Isa as. Kitab Injilpun tidak ada yang memeliharanya, sehingga hilang pula, persis seperti yang di alami oleh kitab-kitab sebelumnya. Kemudian Allah mengutus Nabi Muhammad Saw. dengan mewahyukan kepada beliau semua isi kitab-kitab suci yang sudah hilang itu dan dinamai dengan Al Qur'an atau Al Furqon(7).
Al-Qur'an memang berbeda dari pada ktab yang lain, walaupun dikaji oleh ribuan bahkan jutaan ilmuan di seantero bumi ini dari zamannya Nabi Muhammad Saw. Hingga sekarang dan bahkan sampai umur dunia ini habispun (kiamat) tidak akan habis ilmu yang terkandung di dalamnya.
Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab yang Jelas (Mubin) dan kepada utusan yang mubin pula (Qs. An Nahl 103). Oleh karena itu Ulama' sepakat dalam menetapkan hukum HARAM! bagi siapa saja yang menulis Al-Qur'an dalam bahasa 'Ajam (bahasa selain bahasa arab)(8) yang demikan di karenakan bahasa 'Ajam tidak akan mampu menandingi keunggulan bahasa arab.
Pada tahun 1950 seorang pendeta utusan dari PBB yang berkebangsaan Australia yang di tugaskan untuk menyelidiki terjemah Bible di seluruh dunia.Karena Bible sudah diterjemahkan ke dalam beribu-ribu bahasa, sehingga sudah banyak perubahan dan kehilangan bentuk aslinya. Pendeta tersebut menyatakan kekaguman dan salut dengan agama Islam yang tidak bisa di tandingi dengan agama Kristen.
Umat Islam mempunyai kitab suci al-Qur'an yang masih tetap asli seperti dahulunya, umat Islam masih mempunyai bahasa kesatuan dalam melakukan sholat. Dan Al-Qur'an tetap asli dalam bahasa arab, lain halnya dengan agama Kristen.
Amat bodoh kalau umat Islam yang mempunyai kitab suci dalam bahasa asli akan merubahnya dengan bahasa-bahasa lain.

Itu semua adalah sedikit dari sekian banyaknya kehebatan bahasa Arab. Namun juga tidak sedikit dari umat Islam sendiri yang cuwek bahkan tidak suka dengan bahasa Arab, ada juga yang minder dan tidak pede dengan bahasa Arab yang kita miliki.
Oleh sebab itu pesan saya - penulis - kepada saudara-saudara Islam. Kalau saudara mengaku muslim, selain saudara beragama Islam saudara juga harus mempertahankan bahasa Arab. Sebagai bahasa kesatuan umat Islam.
Umat Yahudi tidak mempunyai bahasa kesatuan agama! Orang Kristen tidak mempunyai dan tidak ada sama sekali bahasa kesatuan agama, meskipun katanya orang Kristen itu hebat-hebat! Demikan pula umat Budha, meskipun bangsa India banyak beragama Budha, bangsa Cina banyak yang beragama Budha tetapi bahasa kesatuanya tidak ada.
Saudara-saudara!
Alhamdulillah, kita umat islam mempunyai bahasa kesatuan. Bahasa yang tidak ada pada agama-agama lain di dunia ini. Bahkan sekarang bahasa Arab di masukan menjadi salah satu bahasa resmi PBB. Kita harus bangga.
Kenapa bukan bahasa Yunani yang menjadi bagian dari bahasa PBB, meskipun bangsa itu telah melahirkan plato, Aris toteles dan Sokrates? Kenapa bukan bahasa India yang menjadi bagian dari bahasa PBB, meskipun bangsa itu telah melahirkan Shidarta Gautama? Kenapa bukan bahasa Yahudi yang menjadi bagian dari bahasa PBB, meskipun bangsa itu telah melahirkan Yesus Kristus? (Amrol Musrifin)

Anti Korupsi dan Perlawanan Simbolik Mahasiswa

Posted by Fasta267-Attanwir Label:

Dalam Islam, korupsi diistilahkan dengan risywah, ghulûl, atau sariqah. Ini terkait dengan pesan al-Qur’ân yang menyatakan bahwa meraup kekayaan hanya diperbolehkan dengan jalan saling rela (ridla), semisal jual beli, bukan dengan cara batil (al-Nisâ’:29). Di sini korupsi bahkan dilihat sebagai kejahatan manusiawi (Hûd:85).

Hal sama terjadi pada praktik penyuapan yang sudah mendapat kecaman sejak empat belas abad silam. Al-Qur’ân bertutur, ”dan jangalah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim (penegak hukum, penguasa), supaya kamu dapat memakan harta orang lain (dengan jalan) berbuat dosa” (al-Baqârah:188).

Tentu, praktik koruptif bertentangan dengan tujuan kekuasaan. Sebagaimana kaidah fiqh yang menyatakan bahwa kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyat, selalu terkait dengan kemashlahatan (tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuuthun bi al-mashlahat). Ini pasti berbeda dengan praktik koruptif. Satu hal yang memang menyisakan perbedaan paradigmatis yang tajam. Pada poin mashlahat, kepemimpinan dimaknai sebagai alat (washilah) bagi sebuah tujuan (ghayah), yakni pensejahteraan rakyat. Sementara pada poin korupsi, kepemimpinan dimaknai sebagai kekuasaan yang menjadi tujuan bagi keuntungan material. Meminjam Bourdieu, kepemimpinan menjadi modal simbolik (symbolic capital) bagi pengerukan modal ekonomis. Inilah yang salah dalam logika politik kita.

Dalam kaitan ini, peran mahasiswa sangat urgen dan strategis. Ini terjadi sebab terdapat kesamaan antara gerakan anti-korupsi dengan kemahasiswaan, yang terletak dalam politik citra. Seperti kita tahu, hukuman atas korupsi tidak hanya yuridis, tetapi moral. Politisi yang tersangkut korupsi, ia tak lagi mendapatkan trust masyarakat, sehingga lakon politiknya dipastikan the end. Ini sangat ditakuti karena praktik politik kita sangat tergantung pada politik image. Situasi ini sesuai dengan posisi mahasiswa sebagai kekuatan moral-intelektual. Dampak positifnya, ketika mahasiswa bergerak, maka rakyat pasti mendapat spirit, karena memiliki keterwakilan moral. Sebuah representasi alternatif bagi “perwakilanisme parlemen” yang koruptif.

Gerak ini sekaligus akan mengembalikan posisi universitas sebagai komponen utama masyarakat sipil. Ini bisa dilakukan melalui penggerakan civic education yang merujuk pada pendidikan anti-korupsi, baik pada mahasiswa terlebih masyarakat. Hal ini sekaligus akan menjadi oto-kritik bagi pendidikan politik yang formalis, tidak kritis. Artinya, kewargenegaraan tidak selalu diterjemahkan secara baik dengan orientasi kewajiban masyarakat atas hak negara. Pendidikan anti-korupsi akan membalik orientasi itu, dengan mengedepankan hak warga negara untuk mengkritisi praktik negara.[eMKa]



Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat

Posted by Fasta267-Attanwir Label:

Ada cerita menarik yang ditulis oleh Rivai Indra Persada Haza di sebuah milis.

Dulu ada bupati klaten, yang mungkin terpilihnya karena mengandalkan kekayaannya. Ceritanya, sang bupati ini mau berpidato dalam acara pelantikan pertamanya sebagai bupati.

Karena isi pidatonya dibuat oleh pembantunya/asistennya, maka terjadilah hal yang paling konyol.

Si asisten menulis dalam awal pidatonya :
ass.wr.wb (kita semua tahu artinya Assalamu’alaykum warohmatullohi wabarokatuh)

nggak tau gimana, sang bupati yang muslim ini benar-benar membacanya sebagai :
a-es-es-we-er-we-be. (mengeja per huruf)
Kontan semua yang hadir pada kebingungan plus (mungkin) menahan tawa.. ;))

Akhirnya, karena banyak hal konyol yang dilakukan sang bupati, dia harus diturunkan dari jabatannya sebelum masa baktinya berakhir. Dan, sang bupati pun meninggal setahun kemudian setelah diturunkan dari
jabatannya..

Kisah diatas adalah sepenggal kisah nyata akibat singkatan salam dalam tulisan. Pada tulisan saya yang terdahulu, “Jangan Menyingkat Salam” telah saya paparkan secara detail untuk penyingkatan Assalamu’alaikum menjadi Ass.

Lalu bagaimanakah sikap para ulama menanggapi fenomena tersebut? Silakan simak tanggapan beberapa ulama dibawah ini.
Fatwa Syaikh Wasiyullah Abbas (Ulama Masjidil Haram, pengajar di Ummul Qura)

Soal:

Banyak orang yang menulis salam dengan menyingkatnya, seperti dalam Bahasa Arab mereka menyingkatnya dengan wrwb Dalam bahasa Inggris mereka menyingkatnya dengan “ws wr wb” (dan dalam bahasa Indonesia sering dengan “ass wr wb” – pent). Apa hukum masalah ini?

Jawab:

Tidak boleh untuk menyingkat salam secara umum dalam tulisan, sebagaimana tidak boleh pula meningkat shalawat dan salam atas Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak boleh pula menyingkat yang selain ini dalam pembicaraan.

Diterjemahkan dari www.bakkah.net
Fatwa Lajnah Ad-Daimah (Dewan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)

Soal: Bolehkah menulis huruf ? yang maksudnya shalawat (ucapan shallallahu ‘alaihi wasallam). Dan apa alasannya?

Jawab:

Yang disunnahkan adalah menulisnya secara lengkap –shallallahu ‘alaihi wasallam- karena ini merupakan doa. Doa adalah bentuk ibadah, begitu juga mengucapkan kalimat shalawat ini.

Penyingkatan terhadap shalawat dengan menggunakan huruf shad atau saw (seperti SAW, penyingkatan dalam Bahasa Indonesia -pent) tidaklah termasuk doa dan bukanlah ibadah, baik ini diucapkan maupun ditulis.

Dan juga karena penyingkatan yang demikian tidaklah pernah dilakukan oleh tiga generasi awal Islam yang keutamaannya dipersaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga serta para sahabat beliau.

Dewan Tetap untuk Penelitian Islam dan Fatwa

Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ibn Abdullaah Ibn Baaz;
Anggota: Syaikh ‘Abdur-Razzaaq ‘Afifi;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Ghudayyaan;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Qu’ood

(Fataawa al-Lajnah ad-Daa.imah lil-Buhooth al-’Ilmiyyah wal-Iftaa., - Volume 12, Halaman 208, Pertanyaan ke-3 dariFatwa No.5069)

Diterjemahkan dari http://fatwa-online.com/fataawa/miscellaneous/enjoiningthegood/0020919.htm
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Apa keutamaan bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam? Bolehkah kita menyingkat ucapan shalawat tersebut dalam penulisan, misalnya kita tulis Muhammad SAW atau dengan tulisan Arabslm , singkatan dari salallahualaihiwassalam ?

Jawab:

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menjawab:

“Mengucapkan shalawat untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan perkara yang disyariatkan. Di dalamnya terdapat faedah yang banyak. Di antaranya menjalankan perintah Allah , menyepakati Allah Subhanallahu Wa ta’ala dan para malaikat-Nya yang juga bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)

Faedah lainnya adalah melipatgandakan pahala orang yang bershalawat tersebut, adanya harapan doanya terkabul, dan bershalawat merupakan sebab diperolehnya berkah dan langgengnya kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Sebagaimana bershalawat menjadi sebab seorang hamba beroleh hidayah dan hidup hatinya. Semakin banyak seseorang bershalawat kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengingat beliu, akan semakin kental pula kecintaan kepada beliau di dalam hati. Sehingga tidak tersisa di hatinya penentangan terhadap sesuatu pun dari perintahnya dan tidak pula keraguan terhadap apa yang beliau sampaikan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah memberikan anjuran untuk mengucapkan shalawat atas beliau dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah Radhiallahuanhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Siapa yang bershalawat untukku satu kali maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali.”

Dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu juga, disebutkan bahwa Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan (Dengan tidak dikerjakan shalat sunnah di dalamnya, demikian pula Al-Qur’an tidak dibaca di dalamnya. (-pent.)) dan jangan kalian jadikan kuburanku sebagai id (tempat kumpul-kumpul -pent). Bershalawatlah untukku karena shalawat kalian sampai kepadaku di mana pun kalian berada.”
[Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah pula bersabda:

“Terhinalah seorang yang aku (namaku) disebut disisinya namun ia tidak mau bershalawat untukku.”
[HR. At-Tirmidzi, kata Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, “Hadits hasan gharib.”]

Bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disyariatkan dalam tasyahhud shalat, dalam khutbah, saat berdoa serta beristighfar. Demikian pula setelah adzan, ketika keluar serta masuk masjid, ketika mendengar nama beliau disebut, dan sebagainya.

Perkaranya lebih ditekankan ketika menulis nama beliau dalam kitab, karya tulis, risalah, makalah, atau yang semisalnya berdasarkan dalil yang telah lewat. Ucapan shalawat ini disyariatkan untuk ditulis secara lengkap/sempurna dalam rangka menjalankan perintah Allah Aza Wajallah kepada kita dan agar pembaca mengingat untuk bershalawat ketika melewati tulisan shalawat tersebut. Tidak sepantasnya lafazh shalawat tersebut ditulis dengan singkatan misalnya shad atau slm ataupun singkatan-singkatan yang serupa dengannya, yang terkadang digunakan oleh sebagian penulis dan penyusun. Hal ini jelas menyelisihi perintah Allah Aza Wajallah dalam firman-Nya:

“… bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.”

Dan juga dengan menyingkat tulisan shalawat tidak akan sempurna maksudnya serta tidak diperoleh keutamaan sebagaimana bila menuliskannya secara sempurna. Terkadang pembaca tidak perhatian dengan singkatan tersebut atau tidak paham maksudnya.

Menyingkat lafazh shalawat ini dibenci oleh para ulama dan mereka memberikan peringatan akan hal ini.
Ibnu Shalah

Ibnu Shalah dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits yang lebih dikenal dengan Muqqadimah Ibnish Shalah mengatakan, “(Seorang yang belajar hadits ataupun ahlul hadits) hendaknya memerhatikan penulisan shalawat dan salam untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila melewatinya. Janganlah ia bosan menulisnya secara lengkap ketika berulang menyebut Rasulullah.”

Ibnu Shalah juga berkata, “Hendaklah ia menjauhi dua kekurangan dalam penyebutan shalawat tersebut:

Pertama, ia menuliskan lafazh shalawat dengan kurang, hanya meringkasnya dalam dua huruf atau semisalnya.

Kedua, ia menuliskannya dengan makna yang kurang, misalnya ia tidak menuliskan wassalam
Al-‘Allamah As-Sakhawi

Al-‘Allamah As-Sakhawi dalam kitabnya Fathul Mughits Syarhu Alfiyatil Hadits lil ‘Iraqi, menyatakan, “Jauhilah wahai penulis, menuliskan shalawat dengan singkatan, dengan engkau menyingkatnya menjadi dua huruf dan semisalnya, sehingga bentuknya kurang. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang jahil dari kalangan ajam (non Arab) secara umum dan penuntut ilmu yang awam. Mereka singkat lafazh shalawat dengan sm , shad atau [Dalam bahasa kita sering disingkat dengan SAW. (-pent.) ]slm . Karena penulisannya kurang, berarti pahalanya pun kurang, berbeda dengan orang yang menuliskannya secara lengkap.
As-Suyuthi

As-Suyuthi berkata dalam kitabnya Tadribur Rawi fi Syarhi Taqrib An-Nawawi, “Dibenci menyingkat tulisan shalawat di sini dan di setiap tempat yang syariatkan padanya shalawat, sebagaimana disebutkan dalam Syarah Muslim dan selainnya, berdalil dengan firman Allah : assuyuthi

As-Suyuthi juga mengatakan, “Dibenci menyingkat shalawat dan salam dalam penulisan, baik dengan satu atau dua huruf seperti menulisnya dengan slm , bahkan semestinya ditulis secara lengkap.”

Inilah wasiat saya kepada setiap muslim dan pembaca juga penulis, agar mereka mencari yang utama/afdhal, mencari yang di dalamnya ada tambahan pahala dan ganjaran, serta menjauhi perkara yang dapat membatalkan atau menguranginya.”

(Diringkas dari fatwa Asy-Syaikh Ibn Baz yang dimuat dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 2/396-399)

Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. III/No. 36/1428 H/2007, Kategori Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, Hal. 89-91.
Kesimpulan :

Sebagian ulama melarang Menyingkat salam dan Shalawat. Namun memang ada pula yang memperbolehkannya selama pembaca mengetahui maknanya.

Namun perlu digaris bawahi, bahwasannya dengan mengeneralkan seluruh pembaca tau apa yang kita maksud rasanya kurang tepat. Karena seperti pada kisah pada awal tulisan ini, tampak ketidak mengertian seorang berkedudukan cukup tinggi kurang memahami hal ini. Bahkan saking seringnya disingkat, seringkali masyarakat justru kabur akan ucapan utuhnya.

Jangankan orang yang tidak berpendidikan, seorang mahasiswapun yang sedang menulis karya tulis banyak yang kebingungan ketika disuruh menulis SWT, SAW, dll secara lengkap. “Nulisnya gimana ?” Nah… alih-alih paham maknanya. Nulis lengkapnya saja gak bisa.

Itu baru satu negara. Coba bayangkan jika ada orang luar negeri yang bisa sedikit bahasa Indonesia membacanya? Kemungkinan besar mereka tidak mengetahuinya. Seperti kita yang juga tidak tau jika orang berbahasa arab ada juga yang menyingkatnya Salallahu alaihi wassalam menjadi huruf shad.

Selain itu apa susahnya sih menulis lengkap ? Apakah beberapa karakter itu begitu memberatkan? padahal harga pulsa SMS saat ini kian murah. Ayo kita hitung bersama. Ass ( 3 huruf) sedangkan Assalamualaikum (15 huruf), cuma beda 12 huruf koq. Satu SMS yang berisi 160 karakter masih sisa 345 untuk menulis berita lainnya.


Makna Sosial Ibadah Haji

Posted by Fasta267-Attanwir Label:


Ibadah haji adalah salah satu bentuk iba-dah yang memiliki makna multi
aspek, ritual, individual, politik psikologis dan sosial. Dikatakan aspek
ritual karena haji termasuk salah satu rukun Islam kelima yang wajib
dilaksanakan setiap muslim bagi yang mampu (istitho'a), pelaksanaannya
diatur secara jelas dalam Al Quran. Haji sebagai ibadah individual,
keberhasilan haji sangat ditentukan oleh kualitas pribadi tiap-tiap umat
Islam dalam memahami aturan dan ketentuan dalam melaksanakan ibadah haji.

Haji juga termasuk bentuk ibadah politik, karena persiapan sampai
pelaksanaanya masih memerlukan intervensi (partisipasi) dari pihak lain
(pemerintah). Sedangkan dari aspek psikologis ibadah haji berarti tiap-tiap
jemaah harus memiliki kesiapan mental yang tangguh dalam menghadapi
perbedaan suhu, cuaca (iklim), budaya daerah yang sangat berbeda dengan
situasi (iklim) bangsa Indonesia. Yang tidak kalah pentingnya dari ibadah
haji adalah makna sosial, yaitu bagaimana para jemaah haji memiliki
pengetahuan, pemahaman mengaplikasikan pesan-pesan ajaran yang ada dalam
pelaksanaan ibadah haji ke dalam konteks kehidupan masyarakat.

Syarat dan rukun dalam ibadah haji tidak semata-mata hanya untuk kepentingan
transendental (antara manusia dengan Allah) tetapi justru yang paling
penting adalah dijadikan pelajaran para pelakunya untuk membentuk
kepribadian atau moralitas pergaulan antara sesama manusia. Dengan demikian,
memahami dan menemukan makna sosial dalam ibadah haji menjadisuatu
keniscayaan bagi setiap umat Islam umumnya dan para jemaah haji kususnya.

Substansi Ibadah Haji


"Kami sambut seruan-Mu ya Allah, kami datang menunaikan panggilan-Mu ya
Allah, kami datang ke-Hadlirat-Mu, ya Allah, tiada sekutu bagi-Mu, ya Allah,
segala puji, nikmat dan kekuasaan adalah untuk-Mu semata, tiada sekutu
bagi-Mu, ya Allah." Kalimat ini selalu menggema di saat musim haji seperti
sekarang ini. Kalimat ini mengandung makna pengakuan, kepasrahan, ketaatan
dan kepatuhan dari seorang hamba (makhluk) kepada Sang Pencipta (Kholiq)
Yang Maha Agung, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kepatuhan dan ketaatan,
dan pengakuan terhadap keagungan Allah merupakan sarana paling efektif untuk
mewujudkan kejujuran, keiklasan yang bisa menghilangkan aneka bentuk
kejahatan dan kesombongan manusia dalam menjalankan tugas, peran dan
tanggung jawab sehari-hari. Siapa pun yang memiliki pengakuan terhadap
keagungan Allah berarti manusia itu memiliki kesiapan untuk bersikap dan
berbuat yang sesuai dengan perintah Allah dalam arti tidak akan mau
melanggar aturan, etika dan norma yang berlaku.

Ibadah haji tidak cukup dengan ketepatan, rutinitas syarat dan rukunnya.
Siapa pun yang berniat melaksanakan ibadah haji senantiasa harus memelihara
ucapan agar tidak mudah menimbulkan fitnah yang mengakibatkan orang lain
tersinggung. "Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan ini akan
mengerjakan haji maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan
berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji." (QS. Al-Baqarah: 197).

Dalam tafsir Al-Maroghi, kata rafats diartikan segala ucapan, sikap dan
perilaku yang bisa menimbulkan birahi, tidak senonoh, ketersinggungan,
malapetaka bagi orang lain yang mendengar dan melihat. Selama menjalankan
ibadah haji, para jemaah dianjurkan selalu berdzikir (ingat) kepada Allah
Swt. (QS. Al-baqarah: 198). Dzikir tidak hanya sekadar bagaimana manusia
melafalkan kalimat "Laa ilahaillallaah", tetapi yang terpenting bagaimana
mengimplementasikan makna kalimah dzikir ke dalam kehidupan sehari-hari.

Barang siapa yang menjalankan ibadah haji hendaknya memahami dan mampu
mengambil hikmah dari tiga peristiwa masa lalu (sejarah). Peristiwa pertama,
pada bulan haji ini, secara serentak umat Islam dianjurkan melaksanakan
sholat sunah Idul Adha di lapangan terbuka. Kekompakan itu melambangkan
adanya pelajaran bagi umat Islam, baik yang melaksanakan ibadah haji maupun
yang belum agar selalu menjalin dan menjaga persatuan dan kesatuan (ukhuwah)
di antara sesama manusia. Predikat haji yang diperoleh bukan untuk sarana
kebanggaan atau kesombongan, melainkan sebagai sarana untuk melatih dan
membangun kesabaran, penghargaan, penghormatan kepada sesama umat manusia.

Peristiwa kedua, pada bulan haji ini semua umat Islam bagi yang mampu
melakukan penyembelihan hewan (kurban) serta ada mengalir darah hewan di
mana-mana. Hal ini menandakan kesediaan umat Islam yang melaksanakan ibadah
haji harus berusaha membunuh atau membuang sifat-sifat kebinatangan (nafsu
hewaniah) yang hanya menitikberatkan pada masalah nafsu emosional,
keserakahan tanpa mengenal aturan dan etika, berganti menjadi mentalitas
manusia yang selalu menjunjung tinggi rasional, perasaan, menghargai dan
menjunjung tinggi etika, norma dan aturan yang berlaku baik secara sosial
maupun agama.

Peristiwa ketiga, pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci akan dihadiri oleh
jutaan manusia di dunia yang berasal dari mancanegara dan memiliki budaya,
kerakter, warna kulit, keyakinan agama yang sangat berbeda-beda. Mereka
semua bisa bersatu padu tanpa memperhatikan dan mempersoalkan asal usul,
warna kulit budaya maupun keyakinan agama. Artinya, siapa pun yang memiliki
niat menjalankan ibadah haji harus berusaha menumbuhkan perasaan atau
mentalitas pluralistik dalam segala hal, dengan cara menumbuhkan semangat
kebersamaan, toleransi, saling menghormati dan menghargai manusia.

Makna Sosial


Selama ini ibadah haji cenderung lebih dipahami sebagai ibadah ritual
daripada ibadah sosial. Artinya, predikat haji bagi seseorang hanya dilihat
dari kemampuan berangkat dan datang kembali ke Tanah Air dengan disertai
cerita-cerita atau pengalaman religius yang beraneka warna. Padahal, ibadah
haji lebih banyak makna sosialnya daripada makna ritual (transendental). Hal
ini didasarkan pada substansi Islam dalah agama rohmatan lil'alamiin. (QS.
Al-Anbiya: 107).

Makna sosial ibadah haji dapat diambil dari serangkain kegiatan yang
dilakukan selama ibadah haji berlangsung dan juga dikategorikan sebagai
syarat dan rukun ibadah haji. Di antara kegiatan ritual haji yang mengandung
makna sosial antara lain:

Pertama, Ihram, mengandung makna melepaskan dan membebaskan diri dari
lambang material dan ikatan kemanusiaan, mengkosongkan diri dari mentalitas
keduniawiaan, membersihkan diri dari nafsu serakah angkara murka,
kesombongan serta kesewenang-wenangan. Umat Islam yang telah memakai pakaian
ihram harus berjiwa stabil, tidak dikendalikan nafsu emosional terhadap
material (kekayaan/harta). Kalaupun mencari kekayaan/ harta harus selalu
memperhatikan, menghormati dan menjunjung tinggi aturan yang ada. Praktek
KKN, menumpuk kekayaan sementara orang lain menderita, menimbun barang pada
saat orang lain kesulitan mencari harus segera ditinggalkan, kalau umat
Islam sudah mengenakan pakaian ihram di tanah suci.

Kedua, Thowaf, mengandung isyarat keluar dari lingkungan manusia yang buas
masuk ke dalam lingkungan Rabbaniyah yang penuh kasih sayang, saling
menghargai dan saling menghormati. Sebelum thowaf, jamaah haji terlebih
dahulu melontar jumrah sebagai pertanda mengusir setan yang menggoda Nabi
Ibrahim as, Nabi Ismail as dan Siti Hajar. Itu artinya, setiap jemaah haji
harus selalu berusaha mengusir godaan setan yang bersarang dalam dirinya.

Ketiga, Sa'i, mengandung isyarat kesediaan menjalankan tugas dan tanggung
jawab (berjalan) bagi jemaah haji ke arah hal-hal yang positif dan
bermanfaat untuk dirinya dan orang lain. Artinya, siapa pun yang sudah
menjalankan ibadah haji harus bisa mengambil makna Sa'i yang menyimpan makna
perlunya perilaku yang positif baik untuk dirinya maupun orang lain
(masyarakat).

Keempat, Al-hulqu/Tahallul, (memotong rambut) mengandung isyarat
pembersihan, penghapusan sisa-sisa cara berfikir yang kotor yang masih
berada dalam kelopak kepala masing-masing manusia. Jemaah haji yang telah
menjalankan tahallul mesti harus memiliki cara pikir, konsep kehidupan yang
bersih, baik tidak menyimpang dari etika dan norma sosial maupun agama.
Dengan kata lain, tahallul berarti mengajarkan kepada umat Islam yang
menjalankan ibadah haji agar bisa memiliki dan mengeluarkan pikiran yang
baik dan positif.

Makna sosial ibadah haji adalah mengajarkan kepada umat Islam umumnya dan
jemaah haji khususnya senantiasa merubah pikiran, sikap serta perilaku
(tindakan) yang lebih bermanfaat untuk masyarakat dan orang lain, jangan
sampai memiliki persepsi bahwa ibadah haji itu hanya untuk Allah, justru
yang paling esensial adalah ibadah haji itu diperuntukkan bagi sesama
manusia dengan cara selalu menjaga, menghormati, menghargai serta saling
menjunjung tinggi martabat manusia. Sabda rasul dalam dalam kitab Ruhul
Bayan Jilid II: "Tidak akan berhasil bagi orang yang melaksanakan ibadah
haji ke Tanah Suci sekiranya tidak membawa tiga hal; (1) sikap wara' yang
membendung dirinya melakukan yang diharamkan, (2) sikap sabar yang dapat
meredam amarah, (3) dan bergaul baik dengan sesama manusia." Di sinilah
makna sosial dari ibadah haji. Semoga saudara-saudara Muslim yang sekarang
diberi kenikmatan dapat menjalankan ibadah haji bisa mengambil makna sosial
dari ibadah haji, tanpa harus mengurangi kualitas amalan ritual dalam ibadah
haji,Amiiin.