Dalam Islam, korupsi diistilahkan dengan risywah, ghulûl, atau sariqah. Ini terkait dengan pesan al-Qur’ân yang menyatakan bahwa meraup kekayaan hanya diperbolehkan dengan jalan saling rela (ridla), semisal jual beli, bukan dengan cara batil (al-Nisâ’:29). Di sini korupsi bahkan dilihat sebagai kejahatan manusiawi (Hûd:85).
Hal sama terjadi pada praktik penyuapan yang sudah mendapat kecaman sejak empat belas abad silam. Al-Qur’ân bertutur, ”dan jangalah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim (penegak hukum, penguasa), supaya kamu dapat memakan harta orang lain (dengan jalan) berbuat dosa” (al-Baqârah:188).
Tentu, praktik koruptif bertentangan dengan tujuan kekuasaan. Sebagaimana kaidah fiqh yang menyatakan bahwa kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyat, selalu terkait dengan kemashlahatan (tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuuthun bi al-mashlahat). Ini pasti berbeda dengan praktik koruptif. Satu hal yang memang menyisakan perbedaan paradigmatis yang tajam. Pada poin mashlahat, kepemimpinan dimaknai sebagai alat (washilah) bagi sebuah tujuan (ghayah), yakni pensejahteraan rakyat. Sementara pada poin korupsi, kepemimpinan dimaknai sebagai kekuasaan yang menjadi tujuan bagi keuntungan material. Meminjam Bourdieu, kepemimpinan menjadi modal simbolik (symbolic capital) bagi pengerukan modal ekonomis. Inilah yang salah dalam logika politik kita.
Dalam kaitan ini, peran mahasiswa sangat urgen dan strategis. Ini terjadi sebab terdapat kesamaan antara gerakan anti-korupsi dengan kemahasiswaan, yang terletak dalam politik citra. Seperti kita tahu, hukuman atas korupsi tidak hanya yuridis, tetapi moral. Politisi yang tersangkut korupsi, ia tak lagi mendapatkan trust masyarakat, sehingga lakon politiknya dipastikan the end. Ini sangat ditakuti karena praktik politik kita sangat tergantung pada politik image. Situasi ini sesuai dengan posisi mahasiswa sebagai kekuatan moral-intelektual. Dampak positifnya, ketika mahasiswa bergerak, maka rakyat pasti mendapat spirit, karena memiliki keterwakilan moral. Sebuah representasi alternatif bagi “perwakilanisme parlemen” yang koruptif.
Gerak ini sekaligus akan mengembalikan posisi universitas sebagai komponen utama masyarakat sipil. Ini bisa dilakukan melalui penggerakan civic education yang merujuk pada pendidikan anti-korupsi, baik pada mahasiswa terlebih masyarakat. Hal ini sekaligus akan menjadi oto-kritik bagi pendidikan politik yang formalis, tidak kritis. Artinya, kewargenegaraan tidak selalu diterjemahkan secara baik dengan orientasi kewajiban masyarakat atas hak negara. Pendidikan anti-korupsi akan membalik orientasi itu, dengan mengedepankan hak warga negara untuk mengkritisi praktik negara.[eMKa]
Blog Archive
Followers
Blog Archive
Labels
- Artikel Lepas (12)
About Me
- Fasta267-Attanwir
- Fasta merupakan singkatan dari Forum Alumni Santri Attanwir 2006-2007, yang mana fasta berdiri pada tanggal 30 juni 2007. Organisasi ini didirikan sebagai sarana silaturrahim antar alumni Attanwir khususnya para Alumni attanwir 2006-2007